Ada sesuatu yang aneh dalam cara banyak orang mencintai ketidaktahuannya. Mereka tampak seperti merawatnya, membelanya, bahkan menegakkan tembok di sekitarnya agar tak satu pun cahaya pengetahuan bisa menembus masuk. Dan di balik tembok itu, tumbuh sejenis kebersamaan yang rapuh namun hangat, kebersamaan orang-orang bodoh yang saling memeluk dalam keheningan yang gelap, takut pada siapa pun yang membawa obor kebenaran.
Orang bodoh tidak sekadar tidak tahu; tapi mereka hanya tidak ingin tahu. Mereka bukan makhluk yang tersesat di jalan gelap, melainkan makhluk yang telah menolak cahaya sejak awal. Baginya, pengetahuan adalah penghinaan; logika adalah ancaman; dan kecerdasan adalah musuh yang harus disingkirkan. Mereka menemukan kenyamanan dalam lingkaran sesamanya, di mana kebodohan menjadi bahasa persatuan, dan kesamaan dalam ketidaktahuan menjadi bentuk tertinggi dari kedamaian palsu.
Ketenangan yang Lahir dari Kegelapan
Orang bodoh jarang merasa bersalah dalam kebodohannya, sebab kebodohan tidak menimbulkan rasa sakit, kecuali ketika berhadapan dengan kecerdasan. Selama mereka dikelilingi oleh sesama yang serupa, hidup ini terasa harmonis. Tidak ada yang perlu dipertanyakan, tidak ada kebenaran yang perlu digugat. Mereka bisa tertawa bersama dalam kesalahpahaman yang mereka anggap kebijaksanaan.
Namun begitu hadir seseorang yang berbeda, seseorang yang berbicara dengan logika, yang memecah ilusi mereka, maka tatanan semu itu pun terguncang. Bagi mereka, orang cerdas bukanlah cahaya, melainkan ancaman yang menyilaukan, membuat mereka buta terhadap kenyamanan gelap yang selama ini mereka anggap kehidupan. Dan seperti kebanyakan orang, mereka akan takut, dan mereka menyerang apa pun yang menakutkan.
Di sinilah paradoks bermula: semakin terang kebenaran, semakin keras penolakannya. Kebodohan tidak menyukai gangguan, sebab kebenaran mengusik kedamaian ilusi yang telah lama dibangun.
Psikologi dari Kenyamanan Kolektif
Ada sebuah mekanisme halus di balik semua ini, semacam sistem pertahanan diri kolektif. Orang bodoh tidak hanya takut terlihat bodoh; ia takut merasa kecil. Ketika berhadapan dengan orang cerdas, egonya bergetar, identitasnya terancam, dan nilai dirinya seolah terhapus oleh bayangan pengetahuan yang lebih besar. Untuk bertahan, mereka mencari perlindungan bukan dalam kebenaran, melainkan dalam kesamaan derita. Ia mencari mereka yang sama-sama tidak tahu, agar tidak sendirian dalam ketidaktahuan itu.
Maka lahirlah koloni kebodohan, kelompok orang-orang yang menolak berpikir, namun bersatu dalam rasa benar yang menipu. Mereka saling meneguhkan bahwa kebodohan adalah bentuk keaslian, bahwa berpikir terlalu jauh adalah kesalahan, dan bahwa kecerdasan hanyalah kesombongan. Padahal, di balik retorika itu, tersembunyi ketakutan yang dalam terhadap inferioritas.
Dalam psikologi sosial, inilah bentuk rationalized insecurity: mereka yang tidak mampu bersaing secara intelektual akan menolak aturan permainan itu dengan menciptakan permainan baru, permainan di mana berpikir bukanlah keunggulan, tetapi kelemahan. Di situ, kebodohan menjadi kebanggaan, dan penolakan terhadap logika menjadi tanda keaslian diri.
Ego yang Menolak Cermin
Orang bodoh tidak membenci orang pintar karena orang itu jahat; ia membencinya karena melihat dirinya sendiri dalam cermin yang jujur. Kecerdasan orang lain menjadi cermin yang menampakkan betapa kecilnya dirinya, betapa dangkalnya pikirannya, betapa lemahnya logika yang selama ini ia banggakan.
Maka untuk menghancurkan rasa malu itu, mereka memilih untuk menghancurkan cerminnya. Mereka akan menyebut orang pintar “sombong”, “meremehkan”, “tidak tahu realita hidup.” Padahal yang ia benci bukanlah kesombongan orang pintar, melainkan rasa malu yang muncul dari perbandingan.
Inilah proyeksi psikologis paling klasik:
Kebencian terhadap kebijaksanaan lahir dari ketidakmampuan menanggung rasa bodoh sendiri.
Hiburan Kita
Dan semakin mereka menolak refleksi itu, semakin ia terbenam dalam ilusi bahwa kebodohan adalah kebijaksanaan, sedangkan kecerdasan adalah bentuk pengkhianatan terhadap kesederhanaan.
Budaya yang Menyembah Kebodohan
Kebodohan tidak lagi menjadi aib ketika jumlahnya menjadi banyak. Dalam masyarakat di mana kebodohan beranak-pinak, kebenaran menjadi minoritas. Dan seperti semua minoritas, ia akan dibungkam, diejek, disingkirkan.
Orang pintar dianggap “tidak sejalan dengan masyarakat,” karena pikirannya terlalu tajam untuk kenyamanan umum.
Ia menjadi pengganggu status quo, perusak harmoni palsu yang dibangun dari ketidaktahuan bersama. Dan dalam masyarakat semacam ini, orang bodoh bukan hanya nyaman dalam kebodohan, ia berkuasa karenanya.
Di panggung kehidupan, kebodohan sering tampil dengan pakaian moralitas. Ia berteriak tentang kesopanan, agama, atau nasionalisme, padahal yang ia perjuangkan hanyalah ketakutannya pada perbedaan cara berpikir. Ia tidak ingin pencerahan, ia ingin dominasi: agar tidak ada satu pun cahaya yang membuatnya harus berubah.
Dalam dunia seperti itu, orang pintar hidup seperti lilin kecil dalam angin badai, menyala, tapi selalu hampir padam.
Cahaya yang Menyakitkan
Ada sebuah ironi metafisis di sini: Cahaya yang seharusnya memberi pandangan, justru menjadi sumber rasa sakit bagi mata yang telah terlalu lama terbiasa dalam gelap. Begitulah reaksi orang bodoh terhadap kecerdasan.
Mereka bukan menolak karena tidak mampu melihat, tetapi karena melihat membuat mereka menderita. Pengetahuan menuntut tanggung jawab, dan tanggung jawab menuntut perubahan, sesuatu yang tidak diinginkan oleh mereka yang nyaman dalam stagnasi.
Maka kebodohan menjadi seperti rumah tua yang bobrok tapi hangat. Meski retak dan gelap, ia tetap terasa aman.
Sementara kecerdasan adalah rumah baru yang terang namun asing, membuat setiap langkah terasa canggung.
Dan orang seperti mereka, makhluk yang selalu mencari rasa aman, lebih memilih kebusukan yang dikenalnya dari pada kebenaran yang belum ia pahami.
Ketika Cahaya Menjadi Musuh
Dalam sejarah, kita sebagai manusia berkali-kali membuktikan kecenderungannya ini soal tokoh sejarah; Socrates diracun, Galileo diasingkan, Giordano Bruno dibakar, semua karena membawa obor terlalu terang di tengah malam kolektif. Setiap zaman memiliki caranya sendiri membunuh para pembawa cahaya. Kini mereka tidak lagi dibakar di tiang, tapi dibungkam oleh ejekan, dihujat di dunia maya, dijauhi karena dianggap “merusak ketenangan sosial.”
Bodoh bukanlah kondisi mental, tapi kondisi spiritualitas, penolakan terhadap kebangkitan spritual. Dan mereka yang menolak kebangkitan selalu melihat pencerahan sebagai pengkhianatan terhadap kenyamanan.
Maka, dalam ironi tragis yang akan tampak abadi, kita sebagai manusia menciptakan musuhnya sendiri dari orang-orang yang mencoba menyelamatkannya dari kebodohan.
Dilema Si Bijak
Orang cerdas yang hidup di tengah kebodohan tidak pernah benar-benar bebas. Ia memikul beban untuk berbicara, tapi juga kutukan karena berbicara. Ia tahu bahwa diam adalah pengkhianatan terhadap akal, namun bicara berarti menantang massa yang buta.
Dalam kesunyian batinnya, ia menyadari bahwa kebodohan bukan sekadar musuh dari luar, ia adalah bagian dari jiwa kita sebagai manusia itu sendiri. Sebab dalam setiap diri kita sebagai manusia ada keinginan untuk tahu, tapi juga ketakutan untuk benar benar mengerti. Kebijaksanaan adalah luka yang terbuka; kebodohan adalah perban yang menutupinya agar tak terasa sakit.
Dan begitulah, orang cerdas hidup seperti pengembara yang membawa api di dalam kehidupan yang absurd ini yang gemetar ketakutan pada nyala kebenarannya.
Di Antara Gelap dan Terang
Pada akhirnya, kebodohan dan kecerdasan bukanlah dua kubu yang terpisah, melainkan dua arus yang saling berkejaran dalam diri kita sebagai manusia. Kebodohan menawarkan kenyamanan; kecerdasan menawarkan penderitaan. Satu membuatmu diterima, satu membuatmu terasing. Dan hanya sedikit yang berani memilih kesendirian demi kebenaran yang menyakitkan.
Orang bodoh mencari teman dalam kegelapan, sedangkan orang cerdas mencari cahaya walau harus berjalan sendirian.
Hiburan Kita
Maka benarlah, orang bodoh akan selalu merasa nyaman bersama sesamanya, karena di sanalah mereka bisa melupakan betapa kecil dirinya. Dan setiap kali mereka melihat seseorang menyalakan cahaya, mereka akan merasa terancam, bukan karena cahayanya membahayakan, tapi karena cahayanya mengingatkan bahwa ia hidup dalam gelap.