Ada paradoks halus dalam watak manusia, semakin seseorang diperlakukan dengan baik, semakin besar kemungkinan ia kehilangan kesadarannya untuk menghargai. Kebaikan yang seharusnya menjadi jembatan antarjiwa, justru sering berubah menjadi jerat, membuat yang memberi tersakiti, dan yang menerima menjadi buta.
Fenomena ini tidak sekadar moral atau sosial. Ia adalah refleksi eksistensial, sebuah pertanyaan mendasar tentang mengapa manusia sering merusak tangan yang memberinya kasih.
Ilusi Moralitas: Ketika Kebaikan Menjadi Bentuk Kuasa yang Tak Disadari
Kebaikan sering kita anggap sebagai puncak kemuliaan kita sebagai manusia. Namun dalam ranah yang lebih dalam, kebaikan adalah bentuk kekuasaan yang halus. Saat seseorang berbuat baik, tanpa disadari ia menempatkan dirinya di posisi yang memberi, posisi yang superior secara moral terhadap penerima.
Dan di situlah benih kebencian kecil mulai tumbuh. Tidak semua orang mampu menanggung posisi sebagai “yang dibantu” tanpa merasa lebih rendah. Ego mereka menolak keadaan itu. Maka untuk memulihkan keseimbangannya, ia mulai memberontak, dengan cara bersikap seenaknya terhadapmu, seolah ingin berkata:
“Kamu mungkin lebih baik, tapi aku tidak akan tunduk padamu.”
Kebaikan yang terlalu murni sering kali menyingkap ketidakmurnian hati orang lain. Ia memantulkan cermin, dan tak semua orang kuat melihat dirinya tampak kecil di hadapan cermin itu. Karena itu sebagian orang tidak membalas kebaikan dengan kebaikan, mereka membalasnya dengan pengingkaran, agar ego mereka tetap aman.
Kebaikan yang Membusuk: Saat Kasih Tanpa Batas Menjadi Racun
Ada titik di mana kebaikan berhenti menjadi kebajikan, dan berubah menjadi kelemahan yang berbau busuk. Ketika kita terus memberi tanpa seleksi, terus memahami tanpa ketegasan, dan terus memaafkan tanpa batas, maka kebaikan itu kehilangan bentuknya. Ia tak lagi menjadi tindakan sadar, melainkan refleks emosional untuk menghindari konflik.
Orang seperti ini tampak bijak di permukaan, namun di kedalaman jiwanya, ia takut, takut kehilangan cinta, takut terlihat jahat, takut ditinggalkan. Maka ia memilih jalan aman: menjadi terlalu baik.
Sayangnya, dalam kehidupan ini tidak menghormati kebaikan yang lahir dari rasa takut. Seolah dalam hidup ini hanya menghormati kebaikan yang lahir dari kekuatan, bukan dari keinginan untuk diterima. Karena itu orang yang terlalu lembut tanpa batas akhirnya menjadi sasaran empuk bagi mereka yang ingin menguji sejauh mana kelembutan itu dapat dieksploitasi.
Kebaikan tanpa kebijaksanaan bukanlah cahaya, ia hanyalah lilin yang mencair pelan-pelan di tangan orang yang tidak tahu cara menghargainya.
Ketika Rasa Terima Kasih Mati dan Ego Menjadi Tuhan
Sebagian Paragraf disembunyikan!
Konten di bawah ini adalah iklan dari platform lain. Media kami tidak terkait dengan konten ini.