Pernahkah kamu bertanya-tanya dalam hidup ini, mengapa orang yang Kita Perlakukan dengan Baik Justru Bersikap Seenaknya? Kebaikan sering dianggap sebagai kebajikan tertinggi manusia. Namun dalam kenyataannya, tidak semua orang mampu menghargai kebaikan yang diberikan kepadanya. Bahkan, yang lebih ironis, ada kalanya orang yang sudah kita perlakukan dengan penuh ketulusan justru menjadi “ngelunjak”, bertingkah seenaknya, dan melupakan rasa hormat. Mengapa hal ini bisa terjadi? Mari kita selami sesuai dengan dengan pengalaman yang tertulis dalam jurnal pribadi saya.
Ketika Kebaikan Disalahartikan Sebagai Kelemahan
Banyak orang tidak mampu membedakan antara kebaikan hati dan kelemahan individu. Ketika seseorang bersikap sabar, penuh pengertian, dan lembut, sebagian orang justru mengira bahwa itu adalah tanda kita tak berani melawan. Dalam pandangan mereka, orang baik adalah orang yang bisa ditindas tanpa perlawanan.
Padahal, kebaikan sejati lahir dari kekuatan, bukan dari ketakutan. Orang yang benar-benar kuatlah yang mampu tetap tenang di tengah penghinaan, tetap sabar di tengah kemarahan, dan tetap memberi di tengah kekurangan.
Namun sayangnya, orang yang belum dewasa sering menilai sesuatu secara dangkal. Mereka melihat sikap tenang sebagai kepasrahan, bukan kebijaksanaan. Mereka melihat kelembutan sebagai ketidakmampuan, bukan kekuatan moral. Dan di sanalah akar dari sikap “seenaknya” itu tumbuh.
Kebaikan yang Terlalu Sering Diterima Menjadi Hal yang Terlupakan
Ada hukum batin yang sederhana: Apa yang terlalu sering kita terima tanpa disertai kesadaran, lama-lama terasa biasa. Begitu pula dengan kebaikan. Ketika seseorang terus-menerus memperlakukan kita dengan sabar, tulus, dan penuh perhatian, kita bisa menjadi terlalu nyaman. Rasa nyaman itu membuat otak berhenti menganggap kebaikan sebagai sesuatu yang berharga karena ia sudah menjadi kebiasaan.
Akhirnya, yang dulu dianggap sebagai anugerah, kini terasa seperti kewajiban. Dan ketika rasa syukur menghilang, muncullah sikap tidak tahu diri, bersikap seenaknya kepada orang yang telah memberi banyak.
Fenomena ini sering terjadi dalam hubungan dekat: keluarga, pasangan, bahkan persahabatan. Seseorang bisa lupa betapa berharganya sosok yang selalu memahami dan menenangkan mereka, hingga suatu saat sosok itu pergi dan barulah kesadaran datang terlambat.
Ego yang Tak Siap Dihadapkan pada Kebaikan
Tidak semua orang bisa menerima kebaikan tanpa merasa terancam. Kedengarannya aneh, tapi ini kenyataan psikologis yang dalam. Ketika seseorang diperlakukan dengan penuh kasih dan kebijaksanaan, ada kalanya ego mereka merasa tercermin oleh kebaikan itu. Mereka sadar, meski tak diucapkan, bahwa mereka belum sebaik itu. Namun karena tidak sanggup menghadapi perenungan tersebut, ego mereka bereaksi dengan perlawanan: mencoba mendominasi, menentang, atau bahkan merendahkan orang yang berbuat baik kepada mereka.
Sikap seenaknya sering kali bukan bentuk ketidaksopanan semata, tapi juga bentuk pertahanan ego. Ego tidak suka merasa kalah. Dan kebaikan yang konsisten sering kali terasa seperti “kemenangan moral” yang membuat mereka merasa kecil. Maka untuk mengimbangi itu, mereka mulai bersikap acuh, dingin, atau bahkan kasar, seolah ingin membuktikan bahwa mereka tetap berkuasa.
Kebaikan Tanpa Ketegasan Adalah Jemputan Bagi Manipulasi
Kita sering diajarkan untuk selalu berbuat baik. Namun jarang diajarkan bahwa kebaikan juga memerlukan batas dan ketegasan. Ketika kita terus-menerus memberi tanpa pernah menetapkan batas, sebagian orang akan melihatnya sebagai kesempatan untuk mengambil lebih banyak.
Mereka tidak mengerti makna kasih; mereka hanya mengerti pola keuntungan. Bagi orang seperti ini, kebaikan bukan nilai moral, tapi celah untuk dimanfaatkan. Orang manipulatif pandai membaca kelembutan. Mereka tahu kepada siapa harus bersikap manis, dan kepada siapa mereka bisa bersikap seenaknya. Dan jika kita terlalu sabar, mereka akan terus menguji sampai kita habis secara emosi. Maka berhati-hatilah: Dalam hidup ko, kebaikan tanpa kebijaksanaan bisa menjadi umpan bagi parasit emosional.
Naluri Manusia: Mudah Terlena, Lambat Menyadari
Sifat dasar manusia adalah mudah beradaptasi terhadap kenyamanan dan lambat beradaptasi terhadap kehilangan. Selama seseorang masih ada, selama ia masih memberi perhatian, kasih, atau pengertian, maka kehadirannya sering diremehkan. Tapi ketika orang itu pergi, saat keheningan menggantikan suaranya, dan ketidakhadiran menggantikan kebaikannya, barulah hati manusia menjerit menyesal.
Sayangnya, penyesalan seperti itu sering datang terlambat. Dan bagi sebagian orang yang pernah tersakiti, mereka sudah tak ingin kembali.
Bukan Kebaikanmu yang Salah, Tapi Cara Mereka Memaknainya
Ketika seseorang bersikap seenaknya padamu meski kamu telah berbuat baik, jangan buru-buru menyalahkan kebaikanmu. Yang keliru bukanlah tindakanmu, melainkan cara mereka menafsirkan tindakan itu.
Kebaikanmu adalah cerminan dari kedewasaan batinmu; sementara reaksi mereka adalah cerminan dari kedangkalan diri mereka. Ada orang yang akan melihat sabarmu sebagai kekuatan, dan mereka tumbuh karenanya.
Namun ada juga yang melihatnya sebagai kelemahan, dan mereka terjatuh karena kesombongan sendiri.
Kebaikan itu pada dasarnya Selalu Dibarengi Batas
Menjadi baik bukan berarti meniadakan batas. Justru bataslah yang menjaga nilai dari kebaikan itu sendiri. Bayangkan jika matahari terus menyinari tanpa henti, tanpa malam. Bukan kehangatan yang lahir, tapi kekeringan dan kelelahan.
Demikian pula dalam hubungan manusia, kebaikan tanpa jeda akan kehilangan makna.
Maka penting bagi kita untuk membedakan antara:
- Kebaikan yang menumbuhkan, dan
- Kebaikan yang memanjakan.
Yang pertama membuat orang belajar menghargai. Yang kedua membuat orang kehilangan rasa hormat.
Kebaikan sesungguhnya tidak sekadar memberi, tetapi juga mengajarkan nilai di balik pemberian itu. Dan terkadang, pelajaran terbaik diberikan bukan lewat tambahan kebaikan, melainkan lewat penghentian sementara, agar orang sadar betapa berartinya yang telah mereka miliki.
Saatnya Menjadi Baik Dengan Bijaksana
Tidak ada yang salah dengan menjadi orang baik. Namun dunia ini membutuhkan orang baik yang juga tegas, berprinsip, dan tidak mudah dipermainkan. Menjadi baik bukan berarti membiarkan orang lain menginjakmu. Menjadi baik adalah kemampuan untuk tetap lembut tanpa kehilangan arah. Ia bukan ketiadaan amarah, tapi kemampuan untuk mengendalikannya. Ia bukan kelemahan, tapi kesadaran akan kekuatan moral yang tak perlu dipamerkan.
Bersikaplah seperti matahari: memberi terang, tapi tidak memaksa siapa pun untuk menatap terlalu lama. Berikan hangatmu, tapi tahu kapan harus berjarak agar tak membakar.
Kebaikan Perlu Disertai Ketegasan Batin
Ketika orang memperlakukan kita dengan seenaknya meski kita sudah berbuat baik, itu bukan tanda bahwa kebaikan tidak berharga, melainkan tanda bahwa tidak semua orang layak menerima bentuk kebaikan yang sama.
Ada kalanya kita harus belajar untuk menarik diri tanpa membenci, berhenti memberi tanpa dendam, dan menjaga jarak tanpa kehilangan kasih. Karena sejatinya, orang baik yang matang bukanlah mereka yang terus memberi tanpa batas, melainkan mereka yang tahu kapan harus berkata:
Hiburan Kita“Aku tetap baik, tapi tidak akan lagi membiarkanmu melukai diriku dengan kebaikanku sendiri.”
Jadi jangan biarkan perilaku seenaknya orang lain membuatmu berhenti menjadi orang baik. Yang perlu berhenti bukanlah kebaikanmu, melainkan pola lama yang membuatmu terlalu murah hati pada mereka yang belum belajar menghargai. Karena kebaikan yang bijaksana bukan hanya menyembuhkan luka hati, tapi juga melindungi diri dari luka yang tidak perlu.
Konten di bawah ini adalah iklan dari platform lain. Media kami tidak terkait dengan konten ini.