You are currently viewing Narsisme Religus Kesalehan Ego Dan Cermin Yang Retak

Narsisme Religus Kesalehan Ego Dan Cermin Yang Retak

Bagikan bila kamu menyukainya

Dalam sejarah kehidupan yang telah lalui bersama, agama selalu menjadi salah satu pilar yang membentuk peradaban. Ia memberi makna, arah, dan tujuan hidup. Namun agama juga dapat dipelintir menjadi alat ego, sebuah topeng yang menutupi keretakan batin seseorang. Dari sini lahir fenomena yang dapat kita sebut “narsisme religius”: ketika kesalehan bukan lagi jalan menuju ketulusan, melainkan panggung bagi ego untuk tampil, dipuja, dan diakui.

Di hadapan cermin, manusia selalu berharap menemukan wajah yang utuh. Namun cermin tidak selalu sempurna, terkadang ia retak, pecah menjadi serpihan-serpihan kecil yang memantulkan bayangan terdistorsi. Kita melihat wajah, tetapi wajah itu pecah, kita melihat mata, tetapi mata itu berganda, kita melihat cahaya, tetapi cahaya itu terbelah.

Fenomena ini ibarat cermin yang retak: orang yang menganggap dirinya suci mencoba memantulkan cahaya ilahi, namun yang terlihat hanyalah bayangan pecah dari keakuan yang rapuh. Begitulah gambaran narsisme religius. Ia adalah wajah kesalehan yang terpantul dari cermin retak, terlihat suci, namun rapuh, tampak utuh, namun terbelah oleh ego.

Kesalehan sejati seharusnya menjadi jembatan antara manusia dan Tuhan, ruang hening di mana jiwa bertemu dengan Yang Tak Terucapkan. Tetapi ketika kesalehan ditarik oleh ego, ia kehilangan esensinya. Yang tersisa hanyalah bayangan: doa yang diucapkan untuk didengar manusia, ibadah yang dilakukan agar terlihat saleh, simbol-simbol religius yang dipamerkan sebagai tanda keunggulan diri.

Narsisme religius tidak lahir dari keutuhan, melainkan dari ketakutan menatap diri sendiri apa adanya. Ego tidak tahan dengan kekosongan; ia harus diisi dengan sorakan, validasi, dan pengakuan. Dan agama, yang seharusnya menjadi jalan sunyi, justru dijadikan panggung tempat mereka berakting sebagai tokoh utama kesucian.

Namun, panggung itu rapuh. Ia seperti bangunan yang megah tetapi didirikan di atas pasir. Ketika sorak berhenti, ketika tidak ada lagi penonton, ketika kesepian datang, seluruh topeng itu runtuh. Yang tersisa hanyalah jiwa yang rapuh, berdiri di depan cermin retak, menatap wajahnya yang terbelah, tanpa berani mengakui bahwa selama ini kesalehannya hanyalah ilusi.

Kesalehan yang Menjadi Panggung Ego

Kesalehan sejati mestinya lahir dari kerendahan hati, pengakuan bahwa manusia terbatas, rapuh, dan bergantung pada sesuatu yang lebih tinggi dari dirinya. Namun sering kali kesalehan berubah menjadi panggung ego itu sendiri.

Orang yang rajin beribadah, yang pandai mengutip kitab suci, atau yang tekun menjalankan ritual bisa jatuh pada jebakan: menjadikan semua itu sebagai alat pengakuan sosial. Ia ingin dilihat, dipuji, bahkan ditakuti karena “otoritas spiritual”-nya.

Dan jika saya mengutip sedikit dari tokoh Filsuf: Kierkegaard pernah mengingatkan bahwa agama bisa menjadi arena estetika. Artinya, agama dijalani bukan karena cinta pada Tuhan, melainkan demi citra diri. Dengan kata lain, ibadah bukan lagi doa, tapi pertunjukan.

Di titik ini, kesalehan berubah menjadi bentuk narsisme: ia memamerkan kebaikan rohani sebagaimana orang lain memamerkan kekayaan atau kecantikan. Ibadah atau ritual yang mestinya meleburkan ego justru menggembungkan ego.

Cermin Retak Pertama: Aku Lebih Saleh dari Kamu!

Terdapat Beberapa paragraf sengaja disembunyikan (invisible).

Akhir Kata

Karena artikel ini merupakan arsip terlarang dari jurnal penulis (Deep web) saya hanya langsung menuju akhir.

Orang narsisis hidup dalam bayangan cermin yang memantulkan keagungan palsu. Mereka mengira diri merekalah yang terpilih, yang paling suci, yang paling dekat dengan tuhan. Dengan dalih religiusitas, mereka memuja diri sendiri dalam balutan kesalehan, seolah cahaya ilahi hanya menyoroti langkah mereka. Mereka percaya tuhan berpihak pada mereka, padahal keyakinan itu hanyalah fatamorgana yang lahir dari kekosongan jiwa yang menolak bercermin pada kegelapan dirinya sendiri.

Spritualitas mereka hanyalah kulit tipis yang menutupi iman yang rapuh, iman yang tak pernah tumbuh untuk memahami bahwa Tuhan tidak berpihak kepada siapa pun, sebab Ia adalah keadilan itu sendiri. Keadilan Tuhan bukanlah kasih sayang yang memanjakan, melainkan keseimbangan yang terkadang menjelma menjadi kehancuran. Kiamat pun adalah puncak dari keadilan-nya; ketika yang tinggi diruntuhkan, dan yang rendah dikembalikan ke asalnya.

Ceramah yang berapi-api kita vs mereka, dengan mengira tuhan akan memihak adalah mereka yang tak mengerti bahwa keadilan ilahi tidak mengenal favoritisme. Tuhan tidak menyanjung siapa pun, bahkan tidak mereka yang mengaku paling mengenalnya. Karena bagi Sang Maha Adil, kehancuran bukanlah hukuman, melainkan bentuk penyucian; dan bagi mereka yang tenggelam dalam narsisisme religius, penyucian itu datang dalam bentuk kehancuran diri mereka sendiri.

Konten di bawah ini adalah iklan dari platform lain. Media kami tidak terkait dengan konten ini.

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments