You are currently viewing Manusia pada dasarnya adalah makhluk pencemburu

Manusia pada dasarnya adalah makhluk pencemburu

Bagikan bila kamu menyukainya

Pada hakikatnya, manusia adalah makhluk pencemburu. Dalam setiap jiwa terdapat hasrat purba yang menatap iri pada apa yang dimiliki oleh yang lain, bukan semata karena keinginan akan harta, kedudukan, atau cinta, melainkan karena ketidakmampuan untuk berdamai dengan kekosongan dirinya sendiri. Kecemburuan adalah cermin yang menampakkan betapa rapuhnya eksistensi manusia: ia tidak dapat merasa utuh tanpa membandingkan dirinya dengan orang lain. Maka dari itu, manusia berjuang bukan hanya untuk memiliki, tetapi untuk menyamai dan bahkan melampaui yang lain, seolah kebahagiaannya bergantung pada runtuhnya milik orang lain.

Di balik wajah moralitas yang tampak suci, terselubung dorongan untuk merebut dan menaklukkan. Setiap keberhasilan orang lain sering kali terasa seperti penghinaan terhadap dirinya sendiri. Manusia, dalam naluri terdalamnya, tak benar-benar ingin keadilan, ia hanya ingin menjadi pihak yang lebih beruntung dalam ketidakadilan itu. Karena itulah dunia tidak diisi oleh orang jahat dan orang baik, melainkan oleh manusia-manusia yang saling menginginkan apa yang bukan miliknya, dengan cara yang lebih halus atau lebih kejam.

Dan di sanalah letak ironi keberadaan kita: bahwa kecemburuan, yang tampak seperti cacat moral, justru menjadi bahan bakar peradaban. Tanpa rasa ingin memiliki apa yang belum dimiliki, manusia mungkin tak akan pernah mencipta, berjuang, atau berkhianat. Ia adalah makhluk yang terlahir dengan kekosongan di dadanya, dan sepanjang hidupnya, ia hanya berusaha menambalnya dengan sesuatu yang dimiliki orang lain.

Naluri Kekurangan

Sejak mula kesadarannya tumbuh, manusia tidak pernah terlahir dalam keadaan utuh. Ada ruang kosong di dalam jiwanya, sebuah kehampaan yang terus menuntut untuk diisi, dengan cinta, pengakuan, kekuasaan, atau sekadar makna hidup yang sulit ia pahami. Kekosongan inilah yang menjadi luka pertama, sekaligus sumber dari segala keinginan. Dari rasa kurang itu, lahirlah dorongan untuk mencari, mengejar, bahkan merampas.

Manusia berusaha menambal lubang eksistensinya dengan apa pun yang terlihat lebih lengkap di luar dirinya. Ia menatap orang lain, lalu membandingkan. Ia melihat keindahan, lalu ingin memilikinya. Ia mendengar pujian yang ditujukan pada orang lain, lalu ingin menggantikannya. Itulah sifat dasar yang tak terhindarkan: manusia ingin memiliki bukan karena ia butuh, tetapi karena ia takut menjadi satu-satunya yang tidak memiliki.

Rasa takut menjadi “kurang” itu membuat manusia hidup dalam bayang-bayang perbandingan yang tidak pernah ada ujungnya yang seolah itu akan terus menyertainya. Ia tak lagi melihat dunia sebagaimana adanya, melainkan melalui kaca cermin bernama iri, di mana segala yang lebih baik dari dirinya tampak sebagai ancaman terhadap harga diri. Maka lahirlah benih kecemburuan, halus dan nyaris tidak terasa, tapi cukup kuat untuk menumbuhkan api obsesi dalam ambisi dan kehancuran di dalam hati.

Kecemburuan Sebagai Cermin Diri

Kecemburuan bukan sekadar kebencian terhadap keberuntungan orang lain. Ia adalah bentuk paling jujur dari pengakuan bahwa kita merasa hampa. Di balik tatapan iri, tersembunyi suara lirih dari jiwa yang berkata: “Mengapa aku tidak seberharga itu?”, “mengapa aku tidak seberuntunng itu?”

Saudaramu adalah mautmu! Atau Mengapa pelaku “Suspect” sering kali berasal dari lingkaran terdekat korban? ⚰

Hiburan Kita – Kecemburuan melekat pada sifat manusia; kita cenderung mengklaim apa pun yang bukan milik kita sepenuhnya.

Manusia tidak benar-benar iri terhadap milik orang lain, tetapi terhadap bayangan diri yang gagal ia wujudkan. Ketika seseorang melihat kesuksesan, ketenangan, atau cinta yang tidak ia punya, sesungguhnya ia sedang berhadapan dengan kemungkinan dirinya sendiri yang tak pernah tercapai. Dalam diam, ia membenci dirinya melalui wajah orang lain.

Itulah sebabnya kecemburuan selalu membawa penderitaan yang sunyi, sebuah luka yang tak terlihat oleh siapa pun. Ia melahap hati dari dalam, membuat seseorang terus mencari cara untuk membuktikan diri, untuk menyaingi, atau menjatuhkan. Bagi sebagian orang, ini menjadi sumber motivasi. Tapi bagi yang lain, ini menjadi racun yang perlahan membunuh kemanusiaannya.

Manusia pada dasarnya adalah makhluk pencemburu, yang mendorong mereka untuk mengambil hak atau menginginkan apa yang berada di luar kepemilikan mereka.

Hiburan Kita

Kecemburuan adalah cermin paling gelap, sebab siapa pun yang menatap terlalu lama ke dalamnya akan melihat betapa rapuh dan kosong dirinya sendiri. Dan ironinya semakin manusia mencoba menolak rasa itu, semakin dalam ia terperangkap di dalamnya.

Dunia yang Digerakkan oleh Iri

Dalam peradaban yang kita lalui bersama, kita akan melihat bahwa peradaban kita sebagai manusia dibangun bukan atas dasar cinta semata, melainkan atas dasar perbandingan. Harga diri berdiri karena seseorang ingin lebih megah dari yang lain; ilmu berkembang karena manusia menolak merasa bodoh; dan agama pun tumbuh karena manusia takut menjadi yang tersesat. Semua bergerak oleh keinginan untuk lebih tinggi, lebih berkuasa, lebih benar.

Kecemburuan kolektif ini menjelma menjadi mesin peradaban: persaingan ekonomi, politik, bahkan spiritualitas. Lihatlah bagaimana manusia berlomba menumpuk harta, mencari pengaruh, atau menonjolkan kesalehan di hadapan sesamanya, semua dengan tujuan yang sama: agar tidak terlihat kalah. Dunia modern mungkin tampak rasional, namun di bawah permukaannya, yang menggerakkan roda sejarah tetaplah rasa iri yang primitif.

Ironinya, dari rasa iri itulah kemajuan lahir. Tanpa ketidakpuasan, manusia tidak akan pernah mencipta atau menaklukkan. Tapi setiap kemajuan yang lahir dari iri juga menanam benih kehancuran yang sama: ketika satu orang mencapai puncak, yang lain merasa tersisih, dan siklus iri pun berulang. Peradaban menjadi panggung besar tempat manusia saling mengagumi dan membenci dalam waktu yang sama.

Kita hidup di dunia yang mengagungkan pencapaian, namun diam-diam dibangun di atas penderitaan batin mereka yang merasa tak cukup. Dunia yang tampak maju, tapi dikelola oleh jiwa-jiwa yang haus akan pengakuan.

Kesadaran atas Bayangan Diri

Namun pada akhirnya, tak ada yang benar-benar bisa dimiliki. Segala yang manusia kejar hanyalah bayangan yang berubah bentuk setiap kali disentuh. Dan di ujung semua pencarian itu, yang tersisa hanyalah dirinya sendiri, kosong, lelah, dan masih merasa kurang.

Untuk melampaui kecemburuan, manusia harus berani menatap kekosongan itu tanpa berusaha menutupinya. Ia harus berani menerima bahwa dirinya tidak sempurna, dan bahwa selalu akan ada orang lain yang lebih beruntung, lebih cantik, lebih pintar, lebih dicintai. Kesadaran ini bukan bentuk keputusasaan, melainkan pintu menuju kebebasan.

Karena hanya dengan menerima bahwa kita tidak akan pernah memiliki segalanya, kita akhirnya bisa berhenti menuntut dunia agar mengisi kekosongan kita. Dan pada saat itu, kecemburuan kehilangan kekuatannya, bukan karena kita menjadi lebih suci, tetapi karena kita telah mengenal sumber gelap dari diri kita sendiri.

Di sana, di titik keheningan batin itu, manusia menemukan kedamaian yang tidak lahir dari kemenangan atas orang lain, melainkan dari pengakuan bahwa tidak ada lagi yang perlu dimenangkan.

Akhir Kata

Kecemburuan adalah bayangan yang selalu mengikuti langkah kita sebagai manusia. Ia tidak bisa dihapus, hanya bisa disadari. Karena selama manusia masih memiliki kesadaran akan dirinya, selama itu pula ia akan membandingkan, menginginkan, dan merasa kurang.

Namun justru dari kesadaran akan kegelapan itu, manusia dapat menemukan cahaya yang sejati, bukan cahaya yang diperoleh dari kepemilikan, melainkan dari pemahaman bahwa yang paling berharga bukanlah apa yang bisa dimiliki, tetapi kemampuan untuk tidak lagi diperbudak oleh keinginan itu sendiri.

Konten di bawah ini adalah iklan dari platform lain. Media kami tidak terkait dengan konten ini.

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments