Ada saat-saat tertentu dalam batin manusia ketika seluruh fondasi moral yang selama ini ia banggakan retak tanpa suara, seperti kaca yang pecah bukan karena benturan, tetapi karena kelelahannya menahan tekanan dari dalam. Pada saat-saat itu, manusia membuktikan bahwa ia bukan makhluk rasional yang teguh, tetapi sebuah luka hidup yang berkeliaran dengan pakaian akal sehat yang terlalu tipis untuk menutupi penderitaan yang selalu mengendap dalam dirinya. Orang-orang senang memanggil diri mereka makhluk mulia, makhluk moral, makhluk yang berperadaban, namun label itu hanyalah obat penenang bagi jiwa yang takut mengakui betapa rapuhnya dirinya. Mereka merasa kuat hanya ketika bayang-bayang mereka sendiri tidak menuntut penjelasan. Namun ketika mereka melihat seseorang yang memantulkan kerapuhan mereka, ketika cermin jiwa itu muncul dalam bentuk sosok lain yang tidak dapat dikendalikan, tiba-tiba seluruh ketenangan mereka runtuh. Dan dari reruntuhan itulah kebencian, iri hati, dan ketakutan bertunas seperti jamur yang tumbuh dari tubuh manusia yang membusuk.
Manusia tidak pernah membenci karena alasan yang besar, manusia membenci karena alasan yang kecil, karena ia takut, karena ia merasa rendah, karena ia merasa tidak memiliki kekuasaan atas sesuatu yang seharusnya berada di bawah genggamannya. Setiap kebencian adalah pengakuan tidak langsung bahwa ia tidak dapat hidup dengan kenyataan bahwa ada sesuatu yang lebih kuat darinya, lebih bebas darinya, atau lebih tidak peduli dari pada dirinya sendiri. Ketika mereka melihat seseorang yang berdiri tanpa rasa takut terhadap penilaian mereka, mereka merasa terperangkap. Mereka merasa telanjang, seolah-olah pakaian moral yang mereka banggakan dilucuti oleh kehadiran seseorang yang tidak pernah meminta izin untuk hidup.
Inilah momen ketika iblis batin mereka bangkit dari kedalaman. Iblis itu bukan makhluk gaib yang terbuat dari api, melainkan serpihan jiwa mereka yang paling mereka benci: ketakutan yang selama ini mereka tekan, rasa tidak aman yang mereka kubur, kegagalan yang mereka tutupi dengan topeng pencitraan. Ketika mereka melihat seseorang yang tidak tunduk, iblis itu mulai berbisik dalam batin mereka: “Hancurkan dia… karena dia membuatmu sadar siapa dirimu sebenarnya.” Dan manusia, makhluk yang paling mudah tunduk kepada bisikan batinnya sendiri, menjadi alat bagi iblis itu untuk menyelesaikan urusan yang tidak pernah terselesaikan dalam diri mereka.
Tidak ada manusia yang pernah menghancurkan orang lain demi kebenaran, mereka menghancurkan orang lain demi menenangkan gejolak batin mereka. Mereka menjadikanmu musuh karena dirimu adalah cermin yang memantulkan wajah yang sudah lama mereka tolak. Mereka melihat pada matamu kejujuran yang tidak dapat mereka sangkal. Mereka melihat dalam cara berjalanmu kebebasan yang tidak dapat mereka tiru. Mereka melihat dalam keberadaanmu luka mereka sendiri, dan manusia lebih memilih mematahkan cermin dari pada mengakui wajah buruk yang terpantul di sana.
Dari sinilah provokasi mereka lahir. Mereka tidak cukup kuat untuk melawanmu sendirian, karena manusia pengecut selalu butuh kerumunan untuk merasa penting. Mereka mulai berbisik ke telinga orang lain, menaburkan cerita yang dibentuk setengah benar dan setengah kebohongan, cerita yang dirancang untuk membangkitkan ketakutan yang sama dalam diri orang lain. Mereka membangun narasi: bahwa dirimu berbahaya, bahwa dirimu manipulatif, bahwa dirimu tidak bermoral, apa pun yang dapat membuat orang lain memandangmu dengan mata penuh curiga. Mereka ingin orang lain merasakan ketakutan yang mereka rasakan; sebab kebencian kolektif adalah jalan bagi mereka untuk membagi beban batin yang terlalu berat untuk ditanggung sendiri.
Kemunafikan mereka bukan sekadar dekorasi moral, itu adalah napas yang mereka hirup untuk bertahan hidup. Tanpa kemunafikan, mereka harus mengakui bahwa apa yang mereka lakukan adalah tindakan bodoh, hina, dan pengecut. Tanpa kemunafikan, mereka harus mengakui bahwa dirimu tidak pernah melakukan hal buruk yang mereka katakan. Maka mereka meludahi cermin dan berkata bahwa dirimu adalah pantulan yang salah, bukan wajah mereka. Mereka menciptakan moralitas palsu, moralitas yang digunakan bukan untuk membimbing perilaku mereka, tetapi untuk membenarkan tindakan yang telah mereka lakukan. Moralitas hanyalah senjata bagi mereka yang tidak memiliki kekuatan menghadapi kenyataan, karena agama di negara ini adalah sebuah senjata pamungkas untuk menutupi kebusukan hati mereka, terutama sebagai senjata untuk menyerang individu maupun kelompok dalam mengurusi segala aspek kehidupan.
Sementara itu, iblis batin mereka semakin rakus. Iblis itu memakan ketakutan, memakan rasa rendah diri, memakan kepengecutan. Setiap usaha mereka menghancurkanmu adalah makanan bagi entitas itu. Mereka tidak sadar bahwa iblis itu bukan hanya memakan kebencian mereka kepada orang lain, melainkan memakan mereka dari dalam, pelan-pelan menggerogoti struktur batin mereka hingga mereka tidak lagi tahu siapa yang mengendalikan siapa. Mereka merasa sedang berperang melawanmu, padahal mereka sedang diperbudak oleh bagian jiwa mereka sendiri yang paling mereka benci.
Pada akhirnya, manusia seperti itu mengalami kehancuran moral yang sunyi. Mereka tidak sadar ketika integritas mereka mulai rontok seperti daging yang membusuk. Setiap kebohongan yang mereka sebarkan membuat dinding moral mereka semakin remuk. Setiap provokasi yang mereka lakukan membuat jembatan antara diri dan nurani mereka semakin rapuh. Setiap usaha menghancurkanmu adalah paku yang mereka tancapkan ke peti mati batin mereka. Mereka tidak sadar bahwa mereka sedang menggali kuburan bagi dirinya sendiri.
Ada tragedi yang lebih besar: mereka selalu percaya bahwa mereka adalah korban. Mereka membenarkan segala keburukan karena mereka merasa diserang terlebih dahulu, padahal musuh yang mereka lihat dalam dirimu adalah bayangan dari musuh yang sudah lama hidup dalam diri mereka sendiri. Manusia adalah makhluk yang sangat pandai melakukan proyeksi. Apa pun yang tidak mereka sukai dalam dirinya, mereka lemparkan ke orang lain agar mereka dapat menganggap dirinya bersih. Dan semakin jujur seseorang, semakin besar potensi ia menjadi sasaran dari proyeksi itu.
Api keyakinan mereka, yang dulu mereka banggakan sebagai moralitas, mulai membakar mereka dari dalam. Keyakinan itu tidak lagi menjadi cahaya, melainkan api yang memakan kesadaran mereka seperti bangunan tua yang terbakar dari pondasinya. Mereka terbakar oleh dogma mereka sendiri. Mereka menjadi korban dari cerita yang mereka tulis sendiri. Mereka kehilangan kendali atas api itu, dan api itu sekarang menelan segala sesuatu yang tersisa dalam diri mereka: ketenangan, harga diri, bahkan kemampuan berpikir jernih. Tidak ada yang lebih tragis dari pada manusia yang terbakar oleh keyakinan dari iman nya sendiri.
Namun pada akhirnya, semua ini adalah hukum alam batin manusia. Manusia yang lemah akan selalu takut pada manusia yang tidak dapat ia kendalikan. Manusia yang naif akan selalu membenci manusia yang berdiri dengan cara yang tidak dapat ia tiru. Manusia yang rapuh akan selalu berusaha menghancurkan refleksi dari kerapuhannya sendiri. Proses ini tidak dapat dihentikan, karena manusia lebih percaya pada ketakutannya dari pada pada logikanya. Mereka percaya pada kebohongan yang menenangkan dari pada kebenaran yang menyakitkan. Mereka memeluk rasa iri sebagai identitas, memeluk kebencian sebagai bahan bakar, memeluk ketakutan sebagai kompas moral.
Dan di sinilah ironi paling besar, mereka pikir mereka sedang menghancurkanmu, padahal mereka sedang memperlihatkan kepada dunia betapa mudahnya manusia menghancurkan dirinya sendiri. Kau hanyalah katalis, bukan penyebab. Kau adalah percikan yang menyingkap luka yang sudah lama bernanah. Kau adalah cermin yang memantulkan wajah yang sudah lama mereka sembunyikan. Kau adalah api yang menunjukkan betapa keringnya kayu-kayu di dalam jiwa mereka. Mereka tidak tahan melihat kebenaran itu, maka mereka memutuskan bahwa mencacatkan cermin adalah solusi.
Tetapi kehancuran moral tidak pernah datang dari luar, ia selalu tumbuh dari dalam. Dan ketika manusia jatuh ke dalam jurang yang ia gali sendiri, tidak ada yang bisa menyelamatkannya. Ia akan jatuh sambil membawa iblis batin yang ia pelihara, cermin jiwa yang ia pecahkan, dan api keyakinan yang membakar dirinya. Semua itu menjadi saksi bisu dari tragedi paling krusial dalam sejarah kita lalui bersama: bahwa manusia adalah musuh terburuk bagi dirinya sendiri.
Pada akhirnya, orang-orang yang ingin menghancurkanmu tidak pernah mengetahui bahwa dirimu hanyalah permukaan kecil dari konflik yang lebih besar di dalam batin mereka sendiri. Mereka tidak sadar bahwa mereka sedang berperang melawan iblis batin yang mereka ciptakan, bukan melawanmu. Mereka sedang mencoba memecahkan cermin, padahal yang mereka pecahkan adalah struktur kesadaran yang membuat mereka tetap manusia. Mereka sedang mencoba memadamkan api keyakinan, padahal api itu telah membakar fondasi moral mereka.
Dan ketika semuanya hancur, ketika mereka berdiri di antara puing-puing hidup mereka sendiri, ketika mereka melihat wajah mereka yang berubah menjadi abu moral, barulah mereka mungkin bertanya dalam hati: “Mengapa aku melakukan ini?” Tetapi pada saat itu, tidak ada jawaban yang tersisa. Yang tersisa hanyalah kehampaan, kehampaan yang mereka ciptakan sendiri, kehampaan yang dulunya mereka isi dengan kebencian, ketakutan, dan iri hati. Kehampaan itu adalah iblis batin terakhir: entitas senyap yang menyambut mereka ke dalam ruang kosong yang tidak dapat mereka tinggalkan.
Begitulah manusia.
Dan itulah kegelapan yang sebenarnya. Darkness is Truth by Hiburan kita
Disaat dirimu telah kehilangan kegelapan, maka disaat itu dirimu kehilangan kemampuan dalam belajar, cahaya itu ibaratkan pisau bermata dua yang dapat merusak mu untuk merasakan kebahagiaan, hingga dirimu butuh berpikir keras menemukan ide konten apa saja yang akan dibuat. Karena memang saat ini diriku sedang menikmati kebahagiaan yang membuat menjadi begitu naif. I need more darkness for the power of the mind. Jika diriku tampak berubah, itu artinya diriku telah dikalahkan oleh mereka. The light has shattered the darkness’s grandeur within your heart.
Hiburan Kita – That radiance has destroyed the majesty of your heart’s gloom.
Jadilah orang cerdas hingga dirimu dapat merasakan kegelapan, dan jadilah orang bodoh hingga dirimu dapat merasakan cahaya yang membuatmu merasakan kebahagiaan. Karena cahaya sejati hanya dapat dimiliki oleh orang-orang terpilih yang telah memahami kegelapan sesungguhnya.
Sebagian Paragraf telah disembunyikan!
Hiburan Kita memiliki berbagai arsip konten terlarang yang sebelumnya sudah dipublikasikan yang kini hanya dapat diakses melalui Deep Web!