Table of Contents
Di sepanjang sejarah yang pernah kita lewati, ada fenomena yang selalu berulang: sekelompok orang yang menderita, bangkit bersama, lalu melakukan sesuatu yang menurut hukum adalah kejahatan, namun oleh mereka dianggap sebagai “keadilan rakyat.”
Kita sering mendengar istilah main hakim sendiri, misalnya ketika seorang pencuri kecil dipukuli oleh massa hingga sekarat. Dari kacamata hukum, itu adalah kejahatan: penganiayaan, bahkan pembunuhan. Tetapi bagi kerumunan yang melakukannya, itu adalah ekspresi dari keadilan yang tidak diberikan oleh negara.
Fenomena ini menunjukkan betapa rapuhnya batas antara keadilan dan kejahatan. Dalam hal ini mencerminkan bagaimana kerumunan bisa mengubah wajah kejahatan menjadi sesuatu yang dianggap benar, hanya karena dilakukan secara kolektif.
Psikologi Massa dan Hilangnya Akal Sehat Individu
Ketika seorang individu berdiri sendirian, ia masih menimbang antara benar dan salah. Ia sadar ada hukum yang mengikatnya, ada moral yang membatasi. Namun begitu ia larut dalam kerumunan, identitas pribadinya lenyap. Ia merasa dilindungi oleh jumlah, dan rasa tanggung jawab pribadinya larut ke dalam tubuh kolektif.
Orang yang biasanya penurut bisa menjadi brutal ketika berada dalam kerumunan. Seseorang yang tidak berani bertindak sendirian bisa berubah menjadi pemberani hanya karena didorong oleh sorakan ribuan orang di sekelilingnya.
Fenomena ini bukan teori kosong. Kita melihatnya dalam banyak peristiwa nyata:
- Kasus main hakim sendiri di jalanan Indonesia. Seseorang mencuri motor, lalu warga menangkapnya. Alih-alih menyerahkan ke polisi, kerumunan memukuli hingga mati. Orang yang biasanya baik, bahkan ramah tetangga, ikut menendang atau melempar batu, seakan-akan moralitasnya ditanggalkan ketika berada di dalam kerumunan.
- Kerusuhan sosial di berbagai negara. Misalnya, saat krisis ekonomi 1998 di Indonesia, banyak kerumunan melampiaskan amarahnya dengan menjarah toko-toko. Individu yang sehari-hari bekerja sebagai buruh atau pedagang kecil ikut menjarah, seakan tindakannya sah karena semua orang melakukannya.
Psikologi massa inilah yang membuat kejahatan bisa menjadi “sah” jika dilakukan bersama-sama.
Keadilan Rakyat vs. Keadilan Negara
Di sisi lain, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan kerumunan. Mengapa mereka merasa perlu mengambil keadilan sendiri? Jawabannya sederhana: karena mereka menganggap hukum formal tidak berpihak kepada mereka.
Banyak orang miskin percaya bahwa hukum hanya melindungi yang kaya dan berkuasa. Kasus besar bisa menghilang di meja pengadilan, sementara pencuri kecil dihukum berat. Dari sinilah muncul jurang kepercayaan.
Rakyat kecil merasa terbelenggu oleh sistem hukum yang tidak memberi mereka ruang. Maka mereka menciptakan “keadilan rakyat” sebagai bentuk pembebasan, meskipun sebenarnya yang lahir bukan keadilan, melainkan pelampiasan.
Inilah dilema abadi: hukum formal menilai sebuah tindakan sebagai kejahatan, tetapi rakyat menilainya sebagai keadilan yang lahir dari penderitaan panjang.
Penderitaan Kolektif sebagai Legitimasi Kekerasan
Kemiskinan adalah luka sosial yang dalam. Dari luka itu lahir rasa marah, dendam, dan keinginan untuk membalikkan keadaan. Ketika penderitaan itu bersatu dalam kerumunan, ia bisa berubah menjadi kekuatan yang merusak.
Dari perspektif ini, kejahatan kerumunan bisa dianggap sebagai perjuangan kelas spontan. Mereka merasa apa yang mereka lakukan adalah pembalasan sah atas penindasan yang menahun.
Misalnya, ketika rakyat miskin menjarah toko saat kerusuhan, mereka sering berkata: “Kami hanya mengambil kembali hak kami yang telah lama dirampas.”
Namun persoalannya adalah penderitaan tidak otomatis melahirkan kebenaran moral. Kekerasan tetaplah kekerasan. Membakar rumah orang kaya, merampas toko kecil, atau menganiaya orang yang salah tuduh tidak akan membawa keadilan sejati.
Normalisasi Kekerasan dan Bahaya Tirani Kerumunan
Bahaya terbesar dari fenomena ini adalah ketika masyarakat terbiasa melihat kekerasan sebagai hal wajar. Ketika sebuah kejahatan dianggap benar hanya karena dilakukan ramai-ramai, maka lahirlah tirani kerumunan. Kejahatan sering kali tidak dilakukan oleh monster jahat, melainkan oleh orang biasa yang sekadar “ikut arus” tanpa berpikir panjang.
Di sinilah bahaya sejatinya. Solidaritas penderitaan yang semula mulia bisa berubah menjadi legitimasi untuk menghancurkan siapa pun yang dianggap lawan.
Apakah Ada Keadilan yang Murni?
Fenomena ini mengajukan pertanyaan besar: apakah ada keadilan yang murni, atau semua keadilan hanyalah wajah dari kekuasaan?
Keadilan diibaratkan sebagai sebuah harmoni. Harmoni ini terwujud ketika setiap bagian masyarakat menjalankan perannya dengan baik. Akan tetapi, harmoni tersebut mustahil tercapai jika kesenjangan sosial terlalu besar. Dalam kondisi tersebut, rakyat akan menciptakan “harmoni” mereka sendiri, meskipun dengan cara yang keliru, yaitu kekerasan.
tanpa penegakan hukum yang kuat, kehidupan manusia akan kacau. Sekelompok orang miskin yang melegalkan kejahatan adalah gambaran kecil dari kekacauan itu. Ketika hukum gagal, kekerasan menjadi jalan utama. Pemberontakan terjadi karena manusia merasakan adanya ketidakadilan, dan dalam pemberontakan itu mereka mencari kepuasaan bahkan dalam pemahaman psikologis ini disebut sebagai victim mentality dalam mencari sebuah makna.
Renungan tentang Manusia, Hukum, dan Kerumunan
Fenomena “kejahatan yang disahkan oleh kerumunan orang susah” bukan sekadar masalah kriminalitas. Ia adalah cermin kegagalan sistem hukum dan sosial. Ketika hukum gagal menghadirkan rasa adil, rakyat menciptakan keadilan sendiri, meski berwujud kekerasan.
Namun kita harus berhati-hati. Keadilan sejati tidak bisa lahir dari pelampiasan. Kekerasan yang dibungkus solidaritas tetaplah kekerasan.
Pada akhirnya sebagai penutup artikel ini saya mengutip perkataan tokoh yang menginspirasi jalan pemikiran saya, Albert Camus pernah mengingatkan: “Keadilan tanpa kebebasan adalah tirani, kebebasan tanpa keadilan adalah anarki.” Maka tugas kita adalah menghadirkan hukum yang adil, bukan hanya untuk yang kuat, tapi juga untuk yang lemah. Jika tidak, kerumunan akan terus mencari jalannya sendiri, dan setiap kejahatan bisa berubah menjadi “kebenaran rakyat” yang menakutkan.
Konten di bawah ini adalah iklan dari platform lain. Media kami tidak terkait dengan konten ini.