Artikel ini dibuat untuk melengkapi artikel Kehebatanmu ditentukan oleh kemampuan hidup mandiri dan independen.
Orang lemah bukanlah mereka yang tidak memiliki kekuatan fisik atau intelektual; orang lemah adalah mereka yang tidak mampu memikul kenyataan tentang dirinya sendiri. Lemahnya bukan pada tubuh atau pikiran, melainkan pada keberanian untuk melihat refleksi diri tanpa topeng.
Ada suatu tragedi yang begitu halus sehingga manusia tidak pernah sadar bahwa mereka sedang mengalaminya. Tragedi itu bukan kelaparan, bukan perang, bukan kehilangan tanah atau harta; tragedi itu adalah kehilangan diri. Manusia kini berjalan dengan tubuh yang tak lagi berisi jiwa, hanya gema pikiran yang dipinjam dari kerumunan.
Di zaman ini, manusia tidak lagi hidup dengan kesadaran diri; mereka hidup dengan kesadaran kolektif yang dangkal, kesadaran yang dibentuk oleh suara-suara lemah lainnya yang sama-sama takut akan dunia. Orang-orang kecil, yang takut menghadapi dirinya sendiri, mencari kerumunan agar mereka bisa menyembunyikan kehancuran batinnya.
Mereka tidak menyadari bahwa setiap langkah yang mereka ambil, setiap kata yang mereka ucapkan, setiap klaim yang mereka buat, hanyalah bayangan dari orang lain. Jiwa mereka adalah rumah yang disewakan pada opini sosial.
Maka lahirlah fenomena yang merajalela: orang lemah yang merasa kuat, orang bodoh yang merasa bijak, manusia kecil yang merasa raksasa, dan yang paling parah, mereka tidak tahu diri.
Ketidaktahuan diri menjadi mata uang sosial. Kebodohan menjadi keberanian. Dan keberanian palsu menjadi sistem moral baru umat manusia.
Ini bukan sekadar ironi. Ini adalah penyakit zaman.
Tentang Kelemahan yang Menyamar sebagai Moralitas
Weakness rarely appears as weakness.
Hiburan Kita – Apa yang secara umum dianggap sebagai kekurangan atau keterbatasan, justru bisa menjadi suatu keuntungan, kekuatan, atau kondisi yang menguntungkan.
Kelemahan tidak muncul sebagai kelemahan.
Orang lemah tidak pernah mengakui dirinya lemah. Justru sebaliknya: ia mengubah kelemahannya menjadi kebajikan, agar ia tidak perlu menghadapi rasa malu yang lahir dari kenyataan. Inilah moralitas paling palsu yang pernah lahir dari jiwa manusia: moralitas yang dikonstruksi untuk menutupi inferioritas.
Jika kamu pernah melihat karya-karya dari tokoh filsafat menyebutnya sebagai moralitas budak: moralitas di mana yang lemah memuji kelemahannya sendiri sebagai kebaikan, bukan karena itu moral, tetapi karena itu membuat mereka merasa nyaman.
Mereka berkata:
“Kerendahan hati adalah kebajikan.”
Padahal itu hanya ketakutan.
Mereka berkata:
“Tidak perlu menjadi pintar; yang penting niat baik.”
Padahal itu hanya dalih untuk kemalasan intelektual.
Mereka berkata:
“Yang penting kita ramai.”
Padahal mereka tahu, sendirian mereka tak berarti apa-apa.
Mereka berkata:
“Yang penting kita mengaku lebih mengutamakan adab dari pada ilmu”
Padahal asli nya mereka bangganya dengan kebodohan mereka, tetapi dengan mengaku paling beradab. Padahal adab tanpa ilmu seperti itulah keadaan mereka saat ini, liar, babar dan primitif. Ya, mereka masih terlalu munafik jika mereka memang beradab jika tidak berilmu, atau adab mereka tidak sebanding dengan ilmu yang mereka miliki.
kamu akan menyadari betapa menjijikkannya orang-orang bodoh yang bersikap angkuh itu dengan riya bahagia nya diri mereka dengan mengaku lebih-lebih mengutamakan adab dari pada ilmu sebagai bentuk kebodohan mereka atas ketidakberdayaan mereka menghadapi realitas.
Begitulah:
Manusia lemah menciptakan nilai-nilai agar ia tidak perlu menjadi kuat. Manusia bodoh menciptakan kebenaran agar ia tidak perlu berpikir. Manusia kecil menciptakan moral agar ia tidak perlu menjadi besar. Dan semua ini lahir dari satu sumber: ketakutan untuk melihat diri sendiri tanpa topeng.
Kebodohan sebagai Ruang Aman Psikologis
Jika ada satu tempat di mana kebodohan merasa nyaman, itu adalah dalam kerumunan. Kebodohan yang sendirian akan merasa telanjang, tetapi kebodohan yang berkumpul akan merasa seperti kerajaan.
Kerumunan adalah ruang tempat manusia melemparkan akalnya dan mengambil keberanian palsu. Di sana, bunyi paling keras selalu dianggap paling benar, bukan karena argumennya kuat, tetapi karena manusia terbiasa tunduk pada suara terbanyak.
Dalam psikologi gelap, ini disebut mekanisme perlindungan kolektif: ketika individu yang rapuh meminjam kekuatan dari jumlah untuk menghindari rasa tidak berharga.
Orang yang tidak memiliki substansi pribadi akan menjadikan kerumunan sebagai identitasnya. Ia tidak lagi berpikir, ia hanya mengulang. Ia tidak lagi menilai, ia hanya meniru. Ia tidak lagi bertanya, ia hanya mengikuti suara yang paling dekat dengan rasa aman.
Kerumunan sosial membuat kebodohan merasa seperti kebijaksanaan.
“Kebodohan yang bersuara bersama akan selalu terdengar seperti kebenaran.”
Maka tidak heran jika dalam kerumunan, manusia paling tidak kompeten merasa paling penting. Ia merasa dirinya pusat perhatian. Ia merasa opininya berarti. Ia merasa setiap kata yang ia keluarkan adalah hukum.
Padahal dalam kesendirian, ia tidak berani bahkan menghadapi pikirannya sendiri.
Inferioritas yang Menghujam Tanpa Disadari
Orang lemah tidak pernah mengakui inferioritasnya; ia justru menyembunyikannya dengan keangkuhan. Inferioritas yang tidak diakui adalah luka batin yang terus mengeluarkan racun.
Setiap orang kecil yang bersikap agresif adalah jiwa yang ketakutan. Setiap orang bodoh yang merasa paling benar adalah jiwa yang rapuh. Setiap manusia yang tidak tahu diri adalah manusia yang dikejar bayangannya.
Orang-orang kecil tidak pernah merasa kecil. Ia hanya merasa terancam oleh sesuatu yang ia tidak punya. Dan rasa terancam ini melahirkan kemarahan, kebencian, dan agresi.
Dalam bahasa psikologi, ini disebut kompensasi berlebihan. Dalam bahasa filsafat, ini disebut kehendak untuk berbohong pada diri sendiri. Dalam bahasa kerumunan, ini disebut keberanian.
Mereka tidak marah karena mereka benar; mereka marah karena mereka lemah. Mereka tidak keras karena mereka kuat; mereka keras karena mereka takut. Mereka tidak berteriak karena mereka yakin; mereka berteriak karena suara hati mereka terlalu kecil untuk didengar. Meskipun sekilas menyerupai gerakan feminis, konteks pembahasan ini tidaklah berfokus pada feminisme.
“Di balik setiap arogansi, ada ketakutan yang tidak ingin diperlihatkan.”
Ilusi Kuasa: Ketika Jumlah Menggantikan Kapasitas
Salah satu tragedi moral terbesar dalam sosial modern adalah ilusi bahwa jumlah berarti kebenaran. Ini adalah jenis kesalahan yang lahir dari jiwa manusia paling malas: orang-orang yang tidak mampu berpikir, bersandar pada kerumunan agar mereka tidak perlu merasa bodoh.
Mereka beranggapan:
“Jika banyak yang setuju, berarti aku benar.”
Padahal itu hanya berarti banyak yang sama bodohnya.
Kerumunan memberikan legitimasi palsu.
Kekuatan mereka bukan berasal dari kualitas, tetapi kuantitas.
Di sinilah bahaya terbesar muncul: orang bodoh yang merasa memiliki kuasa.
Kuasa yang tidak lahir dari kapasitas adalah kuasa yang akan merusak. Dan dalam kerumunan, kuasa semacam itu berkembang seperti api di hutan kering.
“Yang paling berbahaya bukanlah orang bodoh, tetapi orang bodoh yang didukung banyak orang.”
Ketika orang kecil diberi tepukan dari kerumunan kecil lainnya, ia merasa menjadi raksasa titan yang memikul dunia. Ia tidak sadar bahwa ia hanya memikul serpihan ilusi sosial.
Manusia yang Tidak Tahu Diri: Produk Paling Sukses dari Sistem Sosial
Fenomena manusia tidak tahu diri bukan kebetulan. Itu adalah produk paling berhasil dari sistem sosial: Pendidikan yang dangkal, Media yang memanjakan emosi rendah, Narasi sosial yang menyanjung suara mayoritas, Budaya instan yang memuja ucap cepat dari pada pemikiran dalam, Attention Economy yang memberi panggung pada keberanian tanpa kapasitas.
Dalam dunia seperti ini, orang yang tidak tahu diri adalah raja. Ia berani karena ia tidak mengerti apa yang ia hadapi. Ia percaya diri karena ia tidak mampu mengukur dirinya. Ia merasa benar karena ia tidak melihat kemungkinan bahwa ia salah.
Inilah tragedi terbesar negara ini :
ketidaktahuan membuat orang merasa pintar, bukan ragu.
Dalam filsafat klasik, kebijaksanaan dimulai dari pengakuan bahwa kita tidak tahu. Dalam dunia modern, kebodohan dimulai dari keyakinan bahwa kita tahu segalanya. Oleh sebab itu orang bijak akan menganggap diri mereka itu bodoh dengan perlu banyak belajar banyak hal dalam pencari ilmu pengetahuan yang tidak ada ujungnya seperti semesta ini.
Manusia yang tidak tahu diri adalah manusia yang tidak pernah belajar, karena ia merasa sudah tiba di puncak, padahal ia belum mendaki apa pun.
Psikologi Kebencian: Mengapa Orang Lemah Mencari Musuh
Orang yang kuat tidak mencari musuh; ia terlalu sibuk membangun dirinya sendiri. Orang yang lemah selalu mencari musuh; ia butuh sesuatu untuk disalahkan atas kehancuran batinnya.
Kebencian adalah pelarian termurah dari rasa inferior. Bila orang kecil melihat orang yang lebih cerdas, ia tidak kagum, tetapi ia marah. Bila melihat orang yang lebih berhasil, ia tidak termotivasi, tetapi ia iri. Bila melihat orang yang lebih damai, ia tidak belajar, tetapi ia mencibir.
Dalam kegelapan batinnya sendiri, ia berbisik:
“Kalau aku tidak bisa naik, orang lain juga tidak boleh naik.”
Berikut kutipan dari tokoh filsafat; Dostoyevsky pernah menulis bahwa orang-orang kecil lebih suka seluruh dunia runtuh dari pada ia mengakui bahwa ia kecil. Dan itu benar.
Orang kecil membenci apa pun yang mengingatkannya bahwa ia kecil. Orang bodoh memusuhi apa pun yang mengingatkannya bahwa ia bodoh.
Dan kebencian kolektif adalah api besar yang bisa membakar suatu bangsa.
Aforisme tentang orang-orang Kecil
1. “Manusia kecil tidak ingin diangkat; ia ingin semua orang diturunkan.”
2. “Kerumunan adalah lobang tempat nyali palsu dibiakkan.”
3. “Orang yang tidak tahu diri selalu berteriak paling keras.”
4. “Agresi adalah pelarian dari rasa malu.”
5. “Kebodohan kolektif adalah tirani tanpa raja.”
6. “Inferioritas yang tidak disadari selalu menjadi kekerasan.”
7. “Di balik keberanian orang kecil, ada kegelapan yang takut mati.”
8. “Mereka tidak ingin kebenaran; mereka ingin gema.”
9. “Yang tak punya kualitas selalu mencari kuantitas.”
10. “Kebodohan akan tampak seperti kebijaksanaan bila cukup banyak yang mengulangnya.”
Tentang Diri yang Gagal Menjadi Diri
Akhirnya semuanya kembali pada inti paling gelap dari tragedi yaitu: kegagalan menjadi diri. Orang yang gagal menjadi dirinya sendiri akan mencari pelarian:
- ke kerumunan,
- ke moral palsu,
- ke opini dangkal,
- ke agresi sosial,
- ke kebencian,
- ke ilusi kuasa,
- ke topeng yang lama-kelamaan menyatu dengan kulitnya.
Manusia yang tidak tahu diri bukan hanya tidak memahami batasnya; ia bahkan tidak menyadari keberadaannya. Ia hanya reaksi sosial, bukan pribadi. Ia hanya gema, bukan suara. Ia tidak pernah hidup sebagai dirinya sendiri, karena sepanjang hidup ia hanya berusaha menjadi bayangan dari orang lain.
Dunia yang Dituntun oleh Orang-Orang Kecil
Dunia sekarang bukan dipimpin oleh orang kuat atau bijak. Dunia sekarang digerakkan oleh opini. Dan opini digerakkan oleh kerumunan. Dan kerumunan dipimpin oleh siapa saja yang paling berani berteriak, tanpa perlu berpikir.
Dunia ini sedang diarahkan oleh mereka yang tidak tahu ke mana mereka menuju. Sosial sedang dibentuk oleh mereka yang tidak pernah mengenal dirinya sendiri. Masyarakat sedang dituntun oleh bayang-bayang manusia kecil yang ketakutannya dibungkus keberanian palsu.
Kita hidup dalam zaman di mana: orang lemah merasa kuat, orang bodoh merasa bijak, orang kecil merasa besar, dan yang paling tidak tahu diri merasa paling layak memimpin suara.
Namun seperti semua hal yang dibangun dari ilusi, semua ini akan runtuh pada waktunya. Dan ketika semua topeng itu jatuh, manusia akan kembali melihat dirinya dalam cermin yang sama: rapuh, takut, tidak selesai.
Sebab manusia yang tidak tahu diri adalah manusia yang tidak pernah selesai belajar. Dan manusia yang tidak pernah selesai belajar adalah manusia yang tidak pernah benar-benar hidup.