You are currently viewing Kebutaan moral dalam memahami Royalti

Kebutaan moral dalam memahami Royalti

Bagikan bila kamu menyukainya

Ada suatu ironi dalam diri manusia bahwa ia dapat merusak sesuatu tanpa sepenuhnya menyadari kerusakan yang ia ciptakan. Bukan karena ia jahat, melainkan karena ia tidak mampu melihat. Kebodohan, pada titik terdalamnya, bukan sekadar kekurangan pengetahuan, tetapi ketidakmampuan untuk mengakui keterbatasan diri, dan karena itu ia melahirkan monster yang bergerak dalam keadaan setengah sadar. Di dunia yang semakin terobsesi oleh citra, pengakuan, dan kepemilikan simbolik, kebodohan yang tidak tahu diri menjelma menjadi sebuah kekuatan perusak yang diam-diam tetapi mematikan: sebuah parasit sosial yang tidak hanya menggerogoti nilai, tetapi juga menghapus batas moral yang seharusnya menjaga umat manusia tetap waras.

Di lintasan sejarah modern, kita menyaksikan bentuk-bentuk perampasan baru, bukan lagi hanya tanah, kekuasaan, atau harta benda, tetapi sesuatu yang lebih halus dan lebih personal: karya, ide, kreativitas, dan pada akhirnya identitas intelektual. Ketika seseorang merampas royalti atau karya orang lain, ia tidak hanya mengambil hak ekonomi, tetapi juga merampas sebagian dari jiwa penciptanya. Karena setiap karya selalu mengandung fragmen kesadaran, waktu, kepedihan, dan pemikiran yang telah didekap penciptanya dalam kesendirian panjang. Maka ketika ada tangan asing yang mencuri, tindakan itu bukan sekadar pelanggaran hukum, ia adalah penusukan simbolis terhadap keberadaan pencipta itu sendiri.

Namun yang paling mengherankan adalah bahwa yang sering melakukan tindakan ini bukanlah sosok jahat yang penuh kelicikan, melainkan mereka yang bodoh, tidak mampu mengukur dirinya sendiri, dan tidak memiliki kesadaran moral yang matang. Orang-orang seperti ini bertindak bukan karena keberanian jahat, tetapi karena ketidaktahuan yang agresif, sebuah kebodohan yang merasa dirinya tahu, dan sebuah kehampaan diri yang merasa berhak atas apa pun yang bisa digenggaminya.

Tulisan ini dibuat sebagai emosi yang terpendam yang menjadi sebuah upaya untuk menjelaskan, menelanjangi, dan mengurai akar dari perilaku itu: mengapa orang bodoh tidak tahu diri, mengapa mereka bertindak seenaknya, dan mengapa mereka sampai pada titik di mana merampas hak orang lain menjadi hal biasa bagi mereka. Saya akan menjelaskan jejak psikologis, struktur batin, bias kognitif, konteks sosial, serta dimensi filosofis yang melahirkan fenomena tragis ini. Dan kita akan melihat bahwa tindakan perampasan hak, termasuk royalti, bukanlah tindakan yang berdiri sendiri, tetapi puncak dari sebuah struktur batin yang rapuh, dangkal, dan kosong.

Karena ironinya adalah:
ketika seseorang tidak memiliki nilai dalam dirinya, ia mencari nilai itu dengan mencuri. Dan dalam kebodohan mereka, mereka bahkan tidak menyadari bahwa yang mereka curi adalah sesuatu yang tidak akan pernah bisa benar-benar mereka miliki.

Kebodohan sebagai Kebutaan Moral dan Eksistensial

Orang bodoh bukan sekadar kurang informasi. Ia adalah seseorang yang tidak mampu memahami bahwa ia tidak tahu. Kebodohan sejati sejati mereka memiliki sifat narsistik: ia menutup telinga, menutup mata, namun merasa dirinya terbuka dan melihat segalanya. Dalam kondisi ini, batas moral menjadi buram. Ia tidak memahami konsep “hak orang lain” bukan karena ia jahat, tetapi karena ia tidak pernah membangun kesadaran tentang apa itu hak, apa itu batas, dan apa itu kewajiban.

Kebodohan membuat seseorang tidak mampu mengenali konsekuensi abstrak. Royalti, hak cipta, atau karya intelektual adalah abstraksi kompleks. Bagi orang bodoh, abstraksi adalah sesuatu yang tidak ada. Yang ada hanya objek yang bisa ia sentuh atau manfaatkan secara langsung. Maka ketika ia melihat karya seseorang, ia hanya melihat hasil permukaan, bukan proses panjang yang melahirkannya. Ia tidak melihat lembur malam, kesendirian, perenungan, kegagalan, atau cintanya terhadap detail. Karena ia buta terhadap kedalaman, ia merasa bebas memetik permukaan.

Kebodohan adalah kegelapan batin yang percaya bahwa dirinya adalah cahaya.

Dan karena itu, ia merusak bukan dengan niat jahat, tetapi dengan ketidakpekaan total.
Dan ketidakpekaan yang ekstrem seringkali lebih merusak dari pada kejahatan yang disengaja.

Ketiadaan Identitas: Mengapa Mereka Mencuri Nilai Orang Lain

Setiap manusia membutuhkan identitas, ruang batin di mana ia dapat berkata “ini aku”. Namun, sebagian orang tumbuh dengan struktur ego yang rapuh: mereka tidak memiliki kemampuan, keahlian, prestasi, atau kualitas batin yang stabil yang dapat membentuk identitas diri. Orang bodoh biasanya hidup dalam lapisan permukaan: identitasnya bergantung pada pujian orang lain, pada status sosial yang rapuh, pada citra palsu yang harus dipertahankan terus-menerus.

Dalam keadaan ini, mengambil karya orang lain menjadi jalan pintas untuk merasa menjadi seseorang. Dengan mencuri, mereka seakan mendapatkan identitas instan:

“Jika karya ini milikku, maka nilai pencipta itu menjadi nilai diriku.”

Ini adalah ilusi parasitik.
Namun bagi mereka yang kosong di dalam, bahkan ilusi itu terasa lebih baik dari pada kehampaan sejati yang menghantui mereka.

Kenyataannya pahit:
Manusia tanpa identitas akan selalu mencoba mencuri identitas orang lain.

Ego Rapuh dan Kebutuhan Pengakuan

Orang bodoh sering kali memiliki ego yang rapuh, tetapi justru sangat haus akan pengakuan. Mereka ingin terlihat mampu tanpa harus memiliki kemampuan. Mereka ingin terlihat berbakat tanpa harus menempuh proses kesakitan kreatif. Kebutuhan pengakuan ini membuat mereka mengambil jalan termudah: mengambil apa yang sudah jadi.

ketika seseorang menggunakan simbol (karya, nama, logo, prestasi orang lain) untuk menutupi kekosongan dirinya sendiri. Mereka menempelkan label agar terlihat bernilai; mereka meminjam cahaya orang lain karena mereka tidak memiliki cahaya sendiri dan fenomena ini sebagai simbolisme kosong.

Dan di balik semua itu, ada ketakutan besar: ketakutan bahwa jika dunia sedang melihat eksistensi mereka apa adanya, dunia akan melihat itu akan memalukan seperti kehampaan pada diri mereka yang menjadi kesatuan emosi kolektif dengan mengakuinya bersama-sama dengan menganggap kita kuat, kami kami punya kuasa.

Maka mereka mencuri bukan karena keberanian, mereka mencuri karena takut pada identitas asli mereka yang kecil dan tak berarti dengan upaya mereka memafaatkan sekelompok orang menjadi himpunan besar agar mereka dapat menggantikan sesosok entitas yang telah lama eksis itu dengan cara mereka merasa lebih hebat, kuat dan berkuasa.

Dunning-Kruger dan Ilusi Kehebatan

Fenomena psikologis yang paling sering muncul dalam kasus orang bodoh tidak tahu diri adalah Dunning Kruger effect: semakin rendah kemampuan seseorang, semakin tinggi keyakinannya bahwa dirinya hebat. Ini bukan sekadar bias, tetapi struktur batin yang membuat seseorang kebal terhadap introspeksi.

Karena mereka tidak tahu banyak, mereka tidak tahu bahwa mereka tidak tahu.

Dan dari ketidaktahuan itu, lahirlah keberanian palsu, keberanian untuk mengambil, merampas, mencuri, mengklaim, dan bertindak seenaknya tanpa merasa bersalah. Mereka merasa berhak bukan karena mereka benar-benar punya hak, tetapi karena:

Saya cukup hebat untuk pantas memiliki ini.

Itulah ilusi besar mereka. Dan ilusi itu adalah dasar moral yang runtuh yang memungkinkan mereka merampas hak cipta dengan perasaan benar diri.

Ketiadaan Empati: Bagaimana Mereka Tidak Merasa Bersalah

Empati adalah kemampuan abstrak yang membutuhkan kedewasaan mental. Orang bodoh biasanya memiliki empati yang rendah karena empati membutuhkan kemampuan untuk melihat diri sendiri dalam diri orang lain. Namun orang bodoh tidak bisa melihat diri mereka sendiri dengan jujur, bagaimana mungkin mereka melihat orang lain?

Maka ketika mereka mengambil karya orang lain, mereka tidak bisa membayangkan: bagaimana penciptanya akan dirugikan, bagaimana jerih payah itu dikhianati, bagaimana identitas seseorang dicuri.

Bagi mereka, itu hanya “sesuatu yang bisa digunakan”. Tidak ada konsekuensi moral, tidak ada rasa bersalah, karena dunia batin mereka begitu datar sehingga tidak mampu menghasilkan resonansi etis.

Inilah bentuk kemiskinan moral yang paling berbahaya: bukan kejahatan yang disengaja, tetapi ketidakmampuan total untuk merasakan apa itu kejahatan.

Budaya Sosial yang Memaklumi Kecurangan

Masyarakat tertentu sering memupuk budaya oportunistik: siapa yang cerdik mengambil kesempatan dianggap pintar. Dalam lingkungan seperti ini, plagiarisme, pencurian royalti, dan perampasan karya dianggap “cara praktis” untuk sukses. Orang bodoh tumbuh dalam budaya seperti ini dengan keyakinan bahwa: semua orang melakukan hal yang sama, tidak ada yang benar-benar peduli, kalau tidak mengambil, mereka akan rugi sendiri.

Kebodohan bukan hanya masalah individu, tetapi juga hasil dari kondisi sosial yang cacat, di mana kejujuran dianggap kelemahan dan kerja keras dianggap sesuatu yang bisa dibajak.

Dan orang bodoh adalah produk terbaik dari sistem seperti itu.

Mereka Merasa Dunia Tanpa Konsekuensi

Biasanya, orang yang merampas hak cipta atau royalti yakin bahwa: tidak akan ketahuan, tidak akan ada yang peduli, tidak akan ada akibat hukum, dan jika pun ketahuan, mereka bisa berkelit.

Orang bodoh hidup dalam dunia kecil di mana sebab-akibat tidak dipahami secara kompleks. Mereka tidak mengerti reputasi jangka panjang, kerugian moral, atau dampak sosial. Bagi mereka dunia hanyalah serangkaian kesempatan instan yang bisa diambil tanpa risiko.

Namun ketidaktahuan terhadap konsekuensi bukanlah kebebasan, ini adalah bentuk paling fatal dari kebodohan eksistensial.

Orang Bodoh yang Tidak Tahu Diri

Tidak tahu diri adalah inti dari masalah ini. Orang bodoh tidak tahu: batas kemampuan mereka, batas moral mereka, batas hak mereka, batas ruang sosial yang harus dihormati.

Dalam kondisi ini, tindakan seperti merampas royalti bukanlah pengecualian, ini adalah kepanjangan alami dari batin mereka. Mereka tidak tahu siapa mereka, tetapi secara ironis, mereka berusaha menjadi orang lain.

Dan karena itulah tindakan pencurian identitas atau karya intelektual berakar pada ketidakdewasaan yang absolut.

Mereka bukan hanya bodoh, tetapi tidak sadar bahwa mereka bodoh, dan ketidaksadaran itu membuat mereka berbahaya.

Mereka tidak mampu membangun identitas dengan Menghasilkan Karya Sendiri

Untuk mampu menghargai karya, seseorang harus tahu bagaimana rasanya mencipta. Untuk mengetahui betapa berharganya royalti, seseorang harus merasakan perjalanan panjang menuju karya itu. Orang bodoh biasanya: tidak pernah berkarya, tidak pernah berjuang secara kreatif, tidak pernah menyelam dalam kompleksitas intelektual, tidak pernah merasakan konflik batin yang melahirkan ide.

Itulah sebabnya mereka tidak memahami nilai karya intelektual. Mereka hanya melihat hasil, tanpa melihat penderitaan yang membentuknya. Dan karena mereka tidak mampu mencipta, mereka merampas.

Akhir Kata:

Fenomena orang bodoh yang tidak tahu diri dan merampas karya serta hak royalti orang lain bukan sekadar kesalahan teknis. Ini semacam manifestasi dari struktur kepribadian yang rapuh, batin yang kosong, ketidakdewasaan moral, dan ketidakmampuan psikologis untuk mengenali batas diri. Kebodohan bukan hanya ketidaktahuan, tetapi ketidaktahuan yang agresif, sebuah kekosongan batin yang menuntut untuk diisi, walau dengan cara haram sekalipun.

Mereka yang memiliki sedikit nilai dalam dirinya akan berusaha mencuri nilai orang lain. Mereka yang tidak memiliki identitas akan berusaha mencuri identitas orang lain. Mereka yang tidak memiliki cahaya mereka sendiri yang akan mencoba mencuri cahaya orang lain.

Dan pada akhirnya, tindakan ini bukan hanya menyakiti korban, tetapi menghancurkan pelaku itu sendiri. Karena tidak ada pencurian nilai yang benar-benar berhasil: yang dicuri hanya bentuk luar, sementara substansi batinnya tetap kosong. Mereka dapat mengambil karya seseorang, tetapi tidak bisa mengambil jiwa yang melahirkannya. Mereka dapat mencuri nama seseorang, tetapi tidak bisa menjadi orang itu. Mereka dapat merampas royalti, tetapi tidak bisa mencuri kemampuan yang menciptakan royalti itu.

Kebodohan membuat mereka percaya bahwa nilai ada pada kepemilikan.
Padahal nilai sejati berada pada kemampuan mencipta dan kesadaran diri.

Dan sampai mereka menyadari itu, jika mereka pernah menyadarinya, mereka akan tetap menjadi makhluk yang hidup sebagai bayangan tipis, berjalan tanpa identitas, merampas cahaya orang lain untuk menutupi kegelapan mereka sendiri. Namun kegelapan itu tidak pernah tertutupi. Ia hanya semakin menelan mereka dari dalam, sampai yang tersisa hanyalah kedangkalan dan ketidakdewasaan yang abadi (SDM rendah).

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments